Senin, 19 Maret 2012

Adakah Doa dan Dzikir Ketika Membasuh Anggota Wudhu?

          Suci dari najis dan kotoran adalah salah satu syarat sah ketika hendak melaksanakan shalat atau mungkin ibadah lain. Dan untuk itu kita harus berwudhu untuk bersuci. Namun sayang, ternyata masih banyak diantara kaum muslimin yang melakukan kesalahan dalam wudhu mereka. Diantara kesalahan yang mereka lakukan adalah berdoa pada saat membasuh anggota wudhu.
     Hal ini sering dianggap sunnah oleh banyak orang sehingga mereka tanpa ragu melaksanakannya. Mereka menganggap hal itu ibadah padahal hal itu adalah suatu kesalahan yang bisa jatuh ke dalam perbuatan bid’ah. Sebenarnya orang-orang yang berdoa ketika membasuh anggota wudhu memiliki alasan mengapa mereka melakukan itu, yaitu karena mereka mengaku memiliki hadits sebagai landasan untuk melakukannya. Hadits yang mereka jadikan hujjah adalah hadits dari Anas yang berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

          “Wahai Anas, mendekatlah kepadaku, akan kuajarkan kepadamu ketentuan-ketentuan wudhu”, lalu Anas pun mendekat kepada beliau.
          Ketika beliau membasuh kedua tangannya beliau berkata, “Dengan nama Allah, segala puji bagi Allah, tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolonganMu”
         Ketika beristinja’ beliau berkata, “Ya Allah, jagalah kemaluanku dan permudah urusanku”
          Ketika berkumur dan beristinsyaq (menghirup air dengan hidung) beliau berkata, “Ya Allah perhatikanlah kebutuhanku dan janganlah Engkau mengharamkan bau surga kepadaku”
          Ketika membasuh wajah beliau berkata, “Ya Allah putihkanlah wajahku pada hari di mana wajah-wajah akan memutih”
          Ketika membasuh lengan beliau berkata, “Ya Allah berikanlah catatan amalku di tangan kananku”
          Ketika mengusap kepala beliau berkata, “Ya Allah liputilah aku dengan rahmatMu dan jauhkan aku dari siksaMu”
          Ketika membasuh kedua telapak kaki beliau berkata, “Ya Allah teguhkanlah telapak kakiku pada hari di mana telapak kaki akan tergelincir”
          Kemudian beliau berkata, “Demi Dzat yang telah mengutusku dengan kebenaran wahai Anas, tidaklah seorang hamba mengucapkannya pada saat ia berwudhu, tidak akan menetes dari sela-sela jari tangannya setetes air pun kecuali Allah telah menciptakan malaikat yang bertasbih kepadaNya dengan tujuh puluh lisan pahala tasbih yang akan diberikan kepadanya pada hari kiamat”
          Hadits ini bathil, diriwayatkan Ibnu Hibbad dalam Adh Dhu’afa. Al Hafizh berkata dalam At Talkhiish I/111, “Dalam sanadnya terdapat Abbad bin Shuhaib dan ia adalah seorang yang matruk (yang ditinggalkan hadits-nya)”
          “Dalam sanadnya juga terdapat Ahmad bin Hasyim yang dituduh dusta oleh Ad Daruquthni” (Asy Syaukani, Al Fawaid Al Majmu’ah hlm. 13)
          “Tidak ada hadits yang shahih mengenai doa tersebut” (Ibnu Shalah, At Talkhiish Al Kabir I/110)
          “Doa ini tidak ada dasarnya” (Imam Nawawi, Raudhatuth Thaalibiin I/62)
        “Semua hadits yang berkenaan dengan dzikr pada saat membasuh anggota wudhu adalah bathil, tidak ada satu pun yang shahih” (Ibnul Qayyim Al Jauziyah, Al Manaarul Muniif hlm. 120)
         Jadi pada dasarnya, doa ini sama sekali tidak ada dasarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sekali pun tampaknya amalan ini baik namun amalan ini tidak berdasar sehingga tertolak.
          “Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)
          Jika suatu amalan itu baik, maka siapa yang seharusnya melaksanakan duluan? Jika suatu amalan itu baik, maka sudah seharusnya Rasulullah-lah yang paling pertama mengajarkannya. Dan jika menganggap amalan itu adalah sebagai penyempurna, maka ingatlah firman Allah,
“...Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu sebagai agamamu...” (QS. Al Maidah: 3)
Sesungguhnya ajaran Islam itu telah sempurna, tidak ada lagi penambahan atau pun pengurangan. Ikutilah apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena itulah sebaik-baiknya jalan.
Wallahu a’lam.

Perbedaan Darah Haid, Nifas, dan Istihadhah (Darah yang Keluar Karena Sakit)

Pertanyaan: Apa perbedaan antara darah haid, istihadhah, dan darah nifas?
Jawab: Tiga macam darah yang ditanyakan keluar dari satu jalan. Namun namanya berbeda, begitu pula hukum-hukumnya, karena perbedaan sebab keluarnya.
Adapun darah nifas sebabnya jelas, yaitu darah yang keluar dari seorang wanita karena melahirkan. Darah nifas ini merupakan sisa darah yang tertahan di dalam rahim sewaktu hamil. Bila seorang wanita telah melahirkan kandungannya, darah itu pun keluar sedikit demi sedikit. Bisa jadi waktu keluarnya lama/panjang, dan terkadang singkat. Tidak ada batasan minimal waktu nifas ini. Adapun waktu maksimalnya menurut mazhab Hambali adalah 40 hari, dan bila lebih dari 40 hari darah masih keluar sementara tidak bertepatan dengan kebiasaan datangnya waktu haid maka darah tersebut adalah darah istihadhah. Namun menurut pendapat yang shahih, tidak ada pula batasan waktu maksimal dari nifas ini.

Darah yang keluar bukan karena sebab melahirkan adalah darah haid sebagai suatu ketetapan dan sunnatullah atas seorang wanita. Di mana bila si wanita sudah dapat hamil dan melahirkan maka secara umum akan datang kepadanya haid di waktu-waktu tertentu, sesuai dengan keadaan dan kebiasaan si wanita. Bila seorang wanita hamil umumnya ia tidak mengalami haid, karena janin yang dikandungnya beroleh sari-sari makanan dengan darah yang tertahan tersebut.
Keluarnya darah haid menunjukkan sehat dan normalnya si wanita. Sebaliknya tidak keluarnya darah haid menunjukkan ketidaksehatan dan ketidaknormalan seorang wanita. Makna ini disepakati oleh ahli ilmi syar’i dan ilmu kedokteran, bahkan dimaklumi oleh pengetahuan dan kebiasaan manusia. Pengalaman mereka menunjukkan akan hal tersebut. Karena itulah ketika memberikan definisi haid, ulama berkata bahwa haid adalah darah alami yang keluar dari seorang wanita pada waktu-waktu yang dimaklumi.
Menurut pendapat yang shahih, tidak ada batasan umur minimal seorang wanita mendapatkan haid. Begitu pula batasan waktu minimal lamanya haid, sebagaimana tidak ada batasan maksimalnya. Tidak ada pula batasan minimal masa suci di antara dua haid. Bahkan yang disebut haid adalah adanya darah, dan yang disebut suci adalah tidak adanya darah. Walaupun waktunya bertambah atau berkurang, mundur ataupun maju, berdasarkan zahir nash-nash syar’i yang ada, dan zahir dari amalan kaum muslimin. Juga karena tidak melapangkan bagi wanita untuk mengamalkan selain pendapat ini.
Adapun istihadhah adalah darah yang keluar dari seorang wanita di luar kebiasaan dan kewajaran, karena sakit atau semisalnya.
Bila seorang wanita terus menerus keluar darah dari kemaluannya, tanpa berhenti, maka untuk mengetahui apakah darah tersebut darah haid ataukah darah istihadhah bisa dengan tiga cara berikut ini secara berurutan.
(1) Apabila sebelum mengalami hal tersebut ia memiliki kebiasaan (‘adah) haid maka ia kembali pada kebiasaannya (‘adah-nya). Ia teranggap haid di waktu-waktu ‘adah tersebut, adapun selebihnya berarti istihadhah. Selesai masa ‘adah-nya ia mandi dan boleh melakukan ibadah puasa dan shalat (walau darahnya terus keluar karena wanita istihadhah pada umumnya sama hukumnya dengan wanita yang suci, pent.).
(2) Bila ternyata si wanita tidak memiliki ‘adah dan darahnya bisa dibedakan, di sebagian waktu darahnya pekat/kental dan di waktu lain tipis/encer, atau di sebagian waktu darahnya berwarna hitam, di waktu lain merah, atau di sebagian waktu darahnya berbau busuk/tidak sedap dan di waktu lain tidak busuk, maka darah yang pekat/kental, berwarna hitam, dan berbau busuk itu adalah darah haid. Yang selainnya adalah darah istihadhah.
(3) Apabila si wanita tidak memiliki ‘adah dan tidak dapat membedakan darah yang keluar dari kemaluannya, maka di setiap bulannya (di masa-masa keluarnya darah) ia berhaid selama enam atau tujuh hari karena adanya hadits-hadits yang tsabit dalam hal ini. Kemudian ia mandi setelah selesai enam atau tujuh hari tersebut walaupun darahnya masih terus keluar. Sedapat mungkin ia menyumpal tempat keluarnya darah (bila darah terus mengalir) dan berwudhu setiap kali ingin menunaikan shalat.”
           
(Fatwa Syaikh Abdurrahman As-Sa’di sebagaimana dimuat dalam Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam, hal. 23-26 sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 263-265)
            Wallahu a’lam.

Terimalah Kebenaran dari Manapun Asalnya

Ambillah hikmah dari orang yang kamu dengar. Sungguh, ada orang yang berkata dengan hikmah padahal dia bukan ahli hikmah, sehingga hikmah yang diucapkannya itu laksana anak panah yang dilontarkan oleh seseorang yang bukan pemanah
-Abdullah bin Abbas, Shifatush Shafwah I/757-
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menugaskanku untuk menjaga zakat Ramadhan. Tiba-tiba seseorang datang. Mulailah ia mengutil makanan zakat tersebut. Aku pun menangkap seraya mengancamnya, “Sungguh aku akan membawamu ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk aku adukan perbuatanmu ini kepada beliau.” Orang yang mencuri itu berkata, “Aku butuh makanan sementara aku memiliki banyak tanggungan keluarga. Aku ditimpa kebutuhan yg sangat.”
Karena alasan tersebut aku melepaskannya. Di pagi hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Wahai Abu Hurairah apa yang diperbuat tawananmu semalam?”, “Wahai Rasulullah ia mengeluh punya kebutuhan yang sangat dan punya tanggungan keluarga. Aku pun menaruh iba kepada hingga aku melepaskannya” jawabku. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh dia telah berdusta kepadamu dan dia akan kembali lagi.” Aku yakin pencuri itu akan kembali lagi karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan: “Dia akan kembali.”

Aku pun mengintai ternyata benar ia datang lagi dan mulai menciduk makanan zakat. Kembali aku menangkap seraya mengancam, “Sungguh aku akan membawamu ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk aku adukan perbuatanmu ini kepada beliau.” “Biarkan aku karena aku sangat butuh makanan sementara aku memiliki tanggungan keluarga. Aku tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi.” Aku kasihan kepada hingga aku melepaskannya.
Di pagi hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Wahai Abu Hurairah apa yang diperbuat oleh tawananmu?” “Wahai Rasulullah ia mengeluh punya kebutuhan yang sangat dan punya tanggungan keluarga aku pun iba kepada hingga aku pun melepaskannya” jawabku. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh dia telah berdusta kepadamu dan dia akan kembali lagi.”
Di malam yang ketiga aku mengintai orang itu yang memang ternyata datang lagi. Mulailah ia menciduk makanan. Segera aku menangkap dengan mengancam, “Sungguh aku akan membawamu ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk aku adukan perbuatanmu ini kepada beliau. Ini untuk ketiga kali engkau mencuri sebelum engkau berjanji tidak akan mengulangi perbuatanmu tetapi ternyata engkau mengulangi kembali.” “Lepaskan aku sebagai imbalan aku akan mengajarimu beberapa kalimat yang Allah akan memberikan manfaat kepadamu dengan kalimat-kalimat tersebut” janji orang tersebut. Aku berkata, “Kalimat apa itu?” Orang itu mengajarkan: “Apabila engkau berbaring di tempat tidurmu bacalah ayat Kursi: (QS. Al Baqarah: 255) hingga engkau baca sampai akhir ayat. Bila engkau membaca maka terus menerus engkau mendapatkan penjagaan dari Allah dan setan sekali-kali tidak akan mendekatimu sampai pagi hari.”
Aku pun melepaskan orang itu hingga di pagi hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali berta kepadaku: “Apa yang diperbuat tawananmu semalam?” Aku menjawab: “Wahai Rasulullah ia berjanji akan mengajariku beberapa kalimat yang Allah akan memberikan manfaat kepadaku dengan kalimat-kalimat tersebut akhir aku membiarkan pergi.” “Kalimat apa itu?” tanya Rasulullah. Aku berkata: “Orang itu berkata kepadaku: `Apabila engkau berbaring di tempat tidurmu bacalah ayat Kursi dari awal hingga akhir ayat (QS. Al Baqarah: 255) Ia katakan kepadaku: `Bila engkau membaca maka terus menerus engkau mendapatkan penjagaan dari Allah dan setan sekali-kali tidak akan mendekatimu sampai pagi hari’.” Sementara mereka (para sahabat) merupakan orang-orang yang sangat bersemangat terhadap kebaikan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh kali ini ia jujur kepadamu padahal ia banyak berdusta. Engkau tahu siapa orang yang engkau ajak bicara sejak tiga malam yang lalu ya Abu Hurairah?.” “Tidak” jawabku. “Dia adalah setan” kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
-----00000-----
Kisah di atas merupakan kisah yang dituturkan oleh Abu Hurairah dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Wakalah bab Idza Wakkala Rajulan Fatarakal Wakil Syai`an Fa’ajazahul Muwakkil fa Huwa Ja`iz no. 2311.
Sebuah kisah yang menggambarkan kepada kita bagaimana sebuah kebenaran itu bisa diambil dari siapa pun meski kebenaran itu berasal dari setan.
Ya, kita sebagai muslim sudah seharusnya terus mencari kebenaran agar ilmu kita semakin mendalam. Namun yang kini terlihat di sebagian kaum muslimin adalah justru saling menolak satu sama lain bila mereka merasa berseberangan. Orang yang mengaku Salafi memboikot orang Ikhwani meski dalam diri mereka terdapat kebenaran. Kita sering tidak sadar bahwa sikap kita yang menolak kebenaran dari orang lain sebenarnya adalah kesombongan, di mana kita merasa bahwa hanya kita yang benar sementara kebenaran tidak ada di golongan lain. Kita mungkin tanpa sadar merasa bahwa kebenaran itu hanya ada pada Imam A, Syaikh B, Ustadz C, sementara ucapan atau pendapat Kiai D kita anggap sebagai suatu pendapat yang nyeleneh.
Ingatlah bahwa sesungguhnya kesombongan adalah menganggap rendah orang lain dan menolak kebenaran. Dan tidakkah kita ingat bahwa orang sombong tidak akan masuk surga meski kesombongannya hanya sebesar dzarrah?
Tidak masuk surga orang yang dalam hatinya memiliki semisal dzarrah dari kesombongan.” Ada yang bertanya, “Sesungguhnya ada orang yang suka mengenakan baju dan pakaian yang bagus.” Nabi ` menjawab, “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan. (Yang dimaksud dengan) kesombongan adalah menolak kebenaran dan melecehkan manusia.” (HR. Muslim I/93/91, Abu Dawud II/457/4092, dan lain-lain)
Adapun dalil dari Qur’an mengenai hal ini:
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Maidah: 8)
Perintah untuk senantiasa menegakkan kebenaran ini dihubungkan dengan keadilan karena keadilan yang sangat utama adalah mengatakan kebenaran sebagai kebenaran dan menerimanya. Jangan sampai kita menjadi fanatik buta sehingga hanya menerima dakwah atau seruan dari sekelompok orang tetapi menolak kebenaran dari kelompok yang lain.
“Kita (harus) menerima kebenaran dari kelompok manapun, baik dari Mutashawwifah (kaum Sufi), pelajar fiqh maupun ulama syariah. Adapun kita tidak menerima apapun dari mereka dan mengatakan bahwa segala sesuatu yang mereka lakukan adalah kesalahan, maka hal ini tidak benar.
Dahulu, Imam Ahmad (terkadang) duduk kepada sebagian kaum Sufi untuk melembutkan hati beliau. Artinya, pada kaum Sufi terdapat hal-hal berupa pelembutan hati dan keberpalingan dari dunia yang tidak terdapat pada selain mereka…. Ambillah kebenaran dari insan manapun itu, baik dari kaum Sufi, pelajar fiqh atau selain mereka!
Kemiripan sebagian umat ini terhadap Yahudi dan Nasrani adalah, bahwa ulama syariah memandang kaum Sufi tidak ada apa-apanya, sementara kaum Sufi juga memandang bahwa ulama syariah tidak ada apa-apanya.
Mengenai perkara belajar dan berguru (ta`līm) kepada kaum Sufi, maka bisa jadi hal itu membuat mereka (semakin) terperosok dan menjadikan mereka terus bertahan di atas hal-hal (kesalahan) yang mereka lakukan, dan sekaligus juga dapat membuat orang lain terperdaya dan berkata, “Fulan (saja) belajar dan mengambil ilmu dari Sufi….”
Adapun menerima kebenaran, maka terimalah kebenaran dari insan manapun, bahkan dari Yahudi, Nasrani, setan atau orang-orang musyrik sekalipun” (Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Fathu’l Mu`īn fi’t Ta`līq `alā Iqtidhā’ish Shirāthi’l Mustaqīm, hlm. 32)
Selain dari setan, kebenaran juga mesti diterima meski kebenaran itu datangnya dari Yahudi.
Disebutkan bahwa Yahudi mendatangi Nabi dan berkata, “Kalian melakukan kesyirikan dan menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah!” Nabi bertanya, “Mengapa bisa demikian?” Yahudi menjawab, “Kalian berkata, ‘Demi Ka’bah!’ Dan kalian juga berkata, ‘Atas kehendak Allah dan kehendak Fulan!’” Maka Nabi memerintahkan kepada para Sahabat apabila bersumpah agar mengucapkan: ‘Demi Rabb Ka’bah!’ Serta agar mereka mengatakan: ‘Atas kehendak Allah kemudian atas kehendakmu (HR.  An Nasā’i VII/6/3773 dan lain-lain. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)
Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa seorang rahib Yahudi pernah mendatangi Nabi ` dan berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya kami mendapati bahwa Allah menjadikan (dalam riwayat lain: menahan) seluruh langit atas satu jari, seluruh bumi atas satu jari, pepohonan atas satu jari, air dan tanah atas satu jari, dan seluruh makhluk atas satu jari, lalu Dia berkata, ‘Akulah Sang Raja!’” Maka tertawalah Nabi sampai tampak geraham beliau karena membenarkan ucapan rahib tadi. Kemudian beliau membaca firman Allah,
Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha suci Dia lagi maha tinggi dari apa yang mereka persekutukan.” (QS.Az-Zumar: 67) (HR. Bukhāri IV/1812/4553, dari Ibn Mas’ud)
Barangsiapa yang datang kepadamu dengan kebenaran maka terimalah kebenaran itu darinya, meskipun ia adalah orang yang jauh dan dibenci. Dan barangsiapa yang datang kepadamu dengan kebatilan maka tolaklah, meskipun ia adalah orang yang dicintai dan dekat
(Abdullah bin Mas’ud, Shifatush ShafwahI/419  dan Al Fawaa’id hlm. 148)
          Wallahu Musta’an

Sabar Dalam Berdakwah

Syawwal, 3 tahun sebelum hijrah. Dua orang berjalan 60 mil dari Makkah menuju Tha’if. Mereka berdua berjalan kaki, berdebu di jalan Allah, demi menyampaikan risalah kebenaran. Tatkala sampai di Thaif, mereka berdua mendatangi tiga orang pemuka kabilah Tsaqif: Abd Yala’il, Mas’ud, dan Habib. Ketiganya putera Amr bin Umair Ats Tsaqafi. Kepada mereka bertiga disampaikanlah ajakan untuk memeluk Islam lewat lisan paling mulia. Tapi, jangankan sambutan atau balasan yang hangat dan damai, yang diterima oleh pendakwah ini malah makian dan cacian.
    Salah seorang dari mereka berkata, “Jika Allah benar-benar mengutusmu, maka Dia akan merobek-robek pakaian Ka’bah
    Seorang yang lain menimpali, “Apakah Allah tidak menemukan orang lain selain dirimu?
    Orang terakhir tidak mau kalah, “Demi Allah! Aku sekali-kali tidak akan mau berbicara denganmu! Jika memang engkau seorang rasul, sungguh engkau terlalu agung untuk dibantah ucapanmu dan jika engkau seorang pendusta terhadap Allah, maka tidak patut pula aku berbicara denganmu

    Sambutan yang sangat tidak pantas bagi musafir dakwah tersebut. Dakwah dalam 10 hari di Thaif ditolak mentah-mentah oleh penduduknya. Ketika dua orang musafir ini hendak meninggalkan Thaif, mereka tidak dilepas dengan lambaian tangan perpisahan atau kenang-kenangan berharga, justru mereka diberi kenang-kenangan berupa lemparan batu dan cacian yang menyayat hati. Lemparan batu dari manusia-manusia tak bermoral itu membuat sandal Sang Pendakwah hingga berlumuran darah dari kakinya. Tidak ketinggalan, pendamping perjalanannya sekaligus anak angkatnya yang telah berusaha melindungi Sang Pendakwah itu juga turut terkena lemparan hingga kepalanya berdarah.
    Perjalanan jauh dari Makkah ke Thaif, tinggal selama lebih dari seminggu, mengajak manusia kepada kebenaran, tapi justru keluar dari kota itu bagai makhluk hina yang terusir. Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaan Sang Pendakwah tersebut, pastilah hancur dan sangat sedih.
    Sampailah perjalanan mereka di tempat yang sekarang bernama Qarn Al Manazil. Sang Pendakwah yang jagu manusia termulia itu bertemu dengan Jibril bersama Malaikat penjaga gunung. Malaikat penjaga gunung berkata, “Wahai Muhammad! Hal itu terserah padamu. Jika engkau menghendaki aku meratakan mereka dengan Al Akhasyabain (Dua bukit besar), maka aku lakukan
    Orang yang diseru itu menjawab, “Tidak, sesungguhnya aku berharap mudah-mudahan Allah mengeluarkan dari tulang sulbi keturunan mereka orang-orang yang menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun
-----00000-----
    Kisah di atas disarikan dari yang tertulis di dalam kitab Ar Rahiqul Makhtum karya Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri. Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Bad’ul Khalq I/458 dan diriwayatkan pula oleh Imam Muslim bab Ma Laqiyyan Nabiyya Shallallahu ‘alaihi wasallam Min Adzal Musyrikin wal Munafiqin II/109. Kisah di atas mengenai Sang Pendakwah yang tidak lain adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan anak angkatnya, Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu.
    Kisah agung di atas merupakan sebuah kisah yang menggambarkan bagaimana dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ummatnya. Bagaimana beratnya ujian beliau, dan bagaimana besarnya kesabaran beliau. Bisa kita bayangkan saat ini, perjalanan dakwah itu tidak mudah, harus berjalan di terik matahari gurun dari Makkah ke Thaif, harus bersusah payah mengajak orang ke jalan yang benar, tapi apa yang didapat? Hanya cemoohan dan lemparan batu. Bagaimana kita bisa bayangkan betapa hancurnya hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Bahkan disebutkan bahwa tantangan dakwah tersebut adalah kejadian yang beliau rasakan lebih berat dibandingkan dengan Perang Uhud (HR. Bukhari 3231)
    Mengenai kisah di atas, Ibn Hajar Al Asqalani mengomentarinya, “Di dalam hadits ini terkandung keterangan mengenai besarnya rasa kasih sayang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya dan betapa kuat kesabaran dan kelembutan sikapnya. Hal itu selaras dengan firman Allah ta’ala (yang artinya), ‘Dengan rahmat Allah maka kamupun bersikap lembut kepada mereka’. Dan juga firman-Nya (yang artinya), ‘Tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia.’.” (Fathul Bari 6/353)
    Apa yang membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetap tegar meski beribadah? Itu karena beliau berharap agar hasil dakwah ini bisa dituai di kemudian hari meski mungkin sekarang hal itu belum bisa terjadi. Hal itu bisa dilihat dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tidak, sesungguhnya aku berharap mudah-mudahan Allah mengeluarkan dari tulang sulbi keturunan mereka orang-orang yang menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun
  “Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; Sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Huud: 49)
   Mengenal Musuh Dakwah
  Dakwah –sebagaimana dakwahnya para Nabi dan Rasul- pasti selalu menghadapi halangan dan rintangan. Sepanjang sejarah manusia, hampir setiap yang membawa kebenaran pasti pada awalnya mendapat perlawanan. Dan dalam hal ini banyak sekali ayat Al Qur’an yang menerangkan tentang musuh-musuh dakwah para Nabi.
  “Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong” (QS. Al Furqan: 31)
  “Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa Rasul sebelum kamu, Maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka Balasan (azab) olok-olokan mereka.” (QS. Al An’am: 10)
  “Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa orang Rasul sebelum kamu Maka turunlah kepada orang yang mencemoohkan Rasul-rasul itu azab yang selalu mereka perolok-olokkan.” (QS. Al Anbiyaa: 41)
  Bahkan tidak jarang para Nabi dan Rasul yang berdakwah dikatakan gila atau tukang sihir.
  “Demikianlah tidak seorang Rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: "Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila."” (QS. Adz Dzariyat: 52)
  Namun, dengan adanya penentang kebenaran ini, maka akan semakin terlihat bagaimana sebenarnya yang benar dan bagaimana yang salah.
  “Termasuk sunnatullah, apabila Dia ingin menampakkan agama-Nya, maka dia membangkitkan para penentang agama, sehingga Dia akan memenangkan kebenaran dan melenyapkan kebatilan, karena kebatilan itu pasti akan hancur binasa.” (Ibn Taimiyah, Majmu’ Fatawa 28/57)
  Lihatlah bagaimana setiap Nabi dan Rasul memiliki musuh dakwah, tidak hanya dari kaumnya saja, tapi bahkan dari keluarganya sendiri. Lihatlah bagaimana Nuh harus melihat kaum dan anaknya sendiri tenggelam, lihat bagaimana Ibrahim harus merelakan Ayahnya terjebak dalam kesesatan bersana Raja Namrud. Atau mungkin lihatlah tuntunan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang betapa besar ujian dakwah beliau namun beliau masih tetap sabar dalam berdakwah.
  Sabar Dalam Dakwah
  Dakwah tanpa kesabaran maka pasti tidak akan terwujud tujuannya. Dakwah yang penuh rintangan butuh orang-orang yang kuat dan tangguh dalam menghadapi terjalnya perjalanan dakwah tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Karena itulah kita dapati bahwa Allah Ta’ala memerintahkan bersabar kepada para Rasul-Nya shalawaatullaahi wa salaamuhu ‘alaihim- mereka adalah para pemimpin dalam amar ma’ruf nahi munkar-, bahkan Dia menyuruh bersabar kepada penutup Para Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di awal-awal surat yang dengannya beliau diangkat menjadi Rasul.
  “Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah! dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.” (QS. Al Muddatstsir: 1-7)
  Allah selalu mengawali ayat-ayat tentang diutusnya Rasul kepada makhluk dengan memberi peringatan, dan mengakhirinya dengan kesabaran. Peringatan itu sendiri hakikatnya ialah amar ma’ruf nahi munkar. Maka diketahui bahwa kesabaran itu wajib ada setelahnya (setelah amar ma’ruf nahi munkar)” (Ibn Taimiyah, Al Amr bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar hlm. 56)
Kesabaran dalam berdakwah sangatlah penting. Sabar itu sendiri bagi setiap individu saja sudah sangat penting, apalagi untuk berdakwah. Karena sesungguhnya dakwah adalah perbaikan dirinya dan perbaikan orang lain.
  “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)
  Karena itu, jangan berdakwah jika kesabaran itu belum dimiliki. Betapa banyak yang mengaku berdakwah kepada Allah, mengajak manusia kepada Islam, namun kerjaannya hanyalah marah-marah, membuat onar, melaknat orang lain, berdemonstrasi, memblokir jalan, dan perbuatan merusak lainnya. Sungguh, jika da’i seperti itu maka bukannya ia menarik orang kepada Islam tapi justru melarikan orang dari Islam. Mereka berdakwah tapi sedikit ada batu mengganjal langsung panas hatinya, apakah ini dakwah yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Padahal yang diperintahkan oleh Allah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah tetap bersabar.
  “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka...” (QS. Al Ahqaf: 35)
  Dakwah bukan sembarang kata, tapi butuh pemahaman yang mendalam. Termasuk juga sabar dalam berdakwah. Namun sabar di sini bukanlah membiarkan kemaksiatan terjadi sedangkan kita diam, tapi sabar di sini adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim,
  “Hakikat sabar ialah salah satu akhlak jiwa yang mulia; dengannya perbuatan yang tidak baik dapat dicegah. Sabar merupakan salah satu kekuatan jiwa yang dengannya urusan perkara jiwa menjadi baik” (Ibnul Qayyim Al Jauziyah, ‘Idatush Shabirin wa Dzakhiratus Syakirin hlm. 36)
  Jadi sabar adalah menahan jiwa agar perbuatan yang tidak baik dapat dicegah dan mengarahkan kita agar menjadi lebih baik. Dan sungguh akibat dari sabar ini sangatlah menguntungkan. Karena dengan sabar, maka dakwah akan terus berjalan dan akan menuai hasil di kemudian harinya. Sebagaimana para sahabat Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam dan siapa saja yang meniti di atas jalan mereka. Mereka telah menjadi para imam yang memberi petunjuk dan du’at (penyeru) kepada kebenaran serta para figur pemimpin yang diteladani. Disebabkan oleh kesabaran dan keimanan itulah mereka dapat meraih kepemimpinan di dalam agama. Para sahabat Rasul Shallallahu ’alaihi wa Salam dan para pengikutnya yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari ini, mereka adalah para imam, para pemberi petunjuk dan mereka adalah teladan di dalam jalan kebenaran.
  “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.” (QS. As Sajdah: 24)
  Wallahu a’lam

Inilah Malu, Akhlak Seorang Muslim

Rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya
-Al Junaid, Madaarij As Salikin II/270-
Sebagai seorang muslim, maka tentunya kita memiliki sebuah kepribadian atau ciri khas yang menjadi penunjuk bahwa kita memang seorang muslim. Selain bertauhid, ciri seorang muslim yang lainnya adalah seorang muslim sudah seharusnya memiliki akhlak yang baik. Dan diantara akhlak yang paling mulia di dalam Islam adalah malu, di mana rasa malu ini sudah sangat jarang kita temukan di antara kaum muslimin. Karena itu, lewat risalah ini penulis berharap mampu memberikan dorongan bagi kaum muslimin untuk kembali memiliki rasa malu sebagai penghias akhlak mereka.
Definisi Malu
         Secara bahasa, malu adalah merasa sangat tidak enak hati (hina, rendah, dsb) karena berbuat sesuatu yang kurang baik[1]

Sementara itu, para ulama juga turut mendefinisikan apa itu malu. Menurut Al Jurjani, malu adalah mundurnya diri dari sesuatu dan dia meninggalkannya karena khawatir mendapat celaan di dalamnya[2].  Sementara itu, Ibnu Maskawaih berpendapat bahwa malu adalah memasung diri lantaran takut melakukan berbagai keburukan dan mawas diri dari cercaan dan celaan[3]. Imam Nawawi menukil perkataan Al Junaid. Ia  berkata, “Malu adalah memperhatikan semua nikmat dan merenungi semua kealpaan, sehingga lahirlah dari keduanya suatu hal yang disebut malu”[4]
Sementara itu, Fadhlullah Al Jailani mendefinisikan malu sebagai perubahan yang menyelubungi seseorang lantaran khawatir kepada sesuatu yang tercela, sesuatu yang sejatinya buruk[5].
Dengan kata lain, malu bagaikan iman yang menghentikan kemaksiatan. Dan (malu adalah sesuatu) yang menghalangi antara seorang yang beriman dengan kemaksiatannya[6]
Dalil Perintah Untuk Malu
Banyak sekali hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan mengenai perintah atau pun keutamaan malu sebagai salah satu akhlak Islam yang paling mulia serta sebagai salah satu cabang keimanan.
Salah satu dari perkara yang telah diketahui manusia dari ucapan Nabi terdahulu: Jika kamu tidak malu, maka lakukanlah sesukamu[7]
Semua malu itu baik” (HR. Muslim no. 61)
Rasa malu tidak akan datang kecuali bersama kebaikan” (HR. Bukhari)
Tidaklah (perkataan atau perbuatan) keji itu menyertai sesuatu sama sekali kecuali membuatnya buruk, dan tidaklah malu itu menyertai sesuatu sama sekali kecuali membuatnya indah[8]
Malu itu termasuk iman. Iman tempatnya di surga. (perkataan atau perbuatan) keji itu termasuk kebengisan, kebengisan tempatnya di neraka[9]
Sesungguhnya malu dan iman itu selalu bersama. Jika salah satunya diangkat, yang satu pun terangkat[10]
Iman memiliki lebih dari 70 cabang, yang paling utama adalah syahadat “Laa ilaaha illallaahu” dan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Muslim no. 35)
Suatu ketika Nabi menjumpai seorang yang sedang mencela saudaranya karena dia sangat pemalu, Nabi lantas bersabda, “Biarkan dia karena rasa malu itu bagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Malu dan diam (karena khawatir terjerumus kepada yang tidak halal) adalah dua cabang iman, sedangkan (perkataan dan perbuatan) keji dan lantang bicara (khususnya saat mempertahankan yang tidak benar) adalah dua cabang kemunafikan[11]
Sesungguhnya Allah Maha Malu  dan Maha Menutupi Aib. Dia menyukai (akhlak) malu dan (perbuatan) menutupi aib[12]
Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah rasa malu[13]
Dua Macam Malu
Malu yang sudah ada sejak kecil (pembawaannya) disebut malu gharizi. Sementara malu yang dapat diusahakan adalah muktasab. Malu yang dapat diushakan inilah yang disyariatkan. Sebagaimana Al Qadhi Iyadh pernah menjelaskan,
“Malu itu dijadikan bagian dari iman. Karena ia bisa diusahakan, seperti halnya perbuatan baik yang lain. Malu memang bersifat naluriah, tetapi malu dalam konsepsi syara’ membutuhkan usaha, niat, dan ilmu. dari sinilah malu merupakan bagian dari iman, di samping malu adalah faktor pendorong berbagai amal kebaikan dan faktor pencegah berbagai kemaksiatan”[14]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pribadi yang terkumpul dua sifat malu ini. beliau amat pemalu (pembawaannya), sedangkan dalam malu yang muktasab beliau berada di puncaknya.[15]
Sifat Malu Nabi
Abu Sa’id Al Khudri berkata tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lebih pemalu daripada gadis perawan dalam pingitan. Jika beliau tidak menyukai (sesuatu), maka kami mengetahui dari wajahnya”[16]
Aisyah pun bercerita mengenai sifat malunya Nabi. “Suatu hari, seorang wanita bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang bagaimana cara mandi setelah suci dari haidnya. Wanita itu mengatakan bahwa beliau mengajarinya cara mandi dan menyuruhnya mengambil selembar kapas/kain yang telah diberi wewangian dan bersuci dengannya. Wanita itu bertanya, ‘Bagaimana saya harus bersuci dengan selembar kapas/kain itu?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Bersucilah dengannya, Subhanallah!’ Beliau menutup wajahnya dengan tangan. Maka kutarik wanita itu. Aku tahu apa yang dimaksudkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka kukatakan kepadanya, ‘Usapkan kapas itu pada bagian yang terkena darah (haid)’.”[17]
Sifat Malu Para Sahabat
Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai generasi terbaik ummat ini merupakan manusia-manusia terbaik setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang dilahirkan di muka bumi ini. mereka semua pun memiliki teladan dan petuah mengenai rasa malu.
Inilah Abu Bakar Ash Shiddiq, yang pernah berkata dalam khutbahnya, “Wahai kaum muslimin, hendaklah kalian malu kepada Allah! Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, aku benar-benar menyelubungkan pakaian ke kepalaku saat aku buang hajat di area terbuka karena malu kepada Rabbku[18]
Inilah Umar bin Khattab, yang memiliki petuah, “Barangsiapa sedikit rasa malunya, sedikit pula sikap wara’nya. Barangsiapa sedikit wara’nya, matilah hatinya[19]
Barang siapa malu, dia akan sering tidak menampakkan diri. Barang siapa sering tidak menampakkan diri, dia akan menjaga diri. Dan barang siapa menjaga diri, dia akan dijaga[20]
Inilah Utsman bin Affan yang memiliki rasa malu sangat tinggi. Aisyah berkisah mengenai malunya Utsman bin Affan, “Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berbaring di rumahku dalam keadaan tersingkap dua paha atau dua betis beliau. Kemudian Abu Bakar meminta izin menemui beliau. Beliau mengizinkannya masuk, sementara beliau masih dalam keadaannya. Lalu Abu Bakar bercakap-cakap dengan beliau.
Kemudian ‘Umar datang meminta izin untuk masuk. Beliau mengizinkannya masuk, sementara beliau tetap demikian keadaannya. Mereka pun berbincang-bincang. Kemudian ‘Utsman datang minta izin untuk menemui beliau. Beliau pun langsung duduk dan membenahi pakaiannya. ‘Utsman pun masuk dan berbincang-bincang. Ketika ‘Utsman pulang, Aisyah bertanya, “Abu Bakr masuk menemuimu, namun engkau tidak bersiap menyambut dan tidak memedulikannya. Begitu pula ‘Umar masuk menemuimu, engkau juga tidak bersiap menyambut dan tidak memedulikannya pula. Kemudian ketika ‘Utsman masuk, engkau segera duduk dan membenahi pakaianmu!”
Rasulullah menjawab, “Tidakkah aku merasa malu kepada seseorang yang malaikat pun merasa malu kepadanya?” (HR. Muslim no. 2401)
Dalam riwayat yang lainnya dari ‘Aisyah dan ‘Utsman, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,
Sesungguhnya ‘Utsman itu orang yang pemalu. Aku khawatir, jika aku mengizinkan dia masuk dalam keadaan seperti tadi, dia tidak akan bisa menyampaikan keperluannya kepadaku.” (HR. Muslim no. 2402)
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersaksi mengenai Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Beliau bersabda, “Utsman adalah orang yang paling pemalu dari umatku[21]
Ibnu Abbas juga tidak ketinggalan dalam masalah ini. Beliau tidak pernah masuk kamar mandi kecuali sendirian dan itu pun masih memakai kain penutup. Ibnu Abbas berkata, “Aku malu kepada Allah, jika Dia melihatku di kamar mandi dalam keadaaan telanjang[22]
Inilah Abu Musa Al Asy’ari yang ketika tidur memakai beberapa helai pakaian karena khawatir auratnya tersingkap[23]
Malunya Para Wanita di Zaman Nabi
Inilah contoh yang seharusnya diteladani oleh wanita muslimah di zaman ini. ketika kita sering melihat betapa banyak wanita kaum muslimin terjebak di dalam kemaksiatan karena putus urat malunya. Betapa banyak wanita kaum muslimin yang dengan ringannya memamerkan keindahan tubuhnya kepada dunia, seakan ia tidak lagi memiliki akhlak malu ini.
Bercerminlah wahai muslimah, kepada Fathimah binti Rasulullah. Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengunjungi Fathimah bersama seorang budak  yang beliau berikan kepadanya. Waktu itu Fathimah hanya mengenakan sehelai kain yang jika untuk menutupi kepalanya, kedua kakinya akan tersingkap. Begitu pula ketika hendak menutupi kakinya maka kepalanya akan terlihat. Kemudian setelah melihat hal tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ini tidak apa-apa bagimu. Ini hanya ayah dan budakmu[24]
Tengoklah wahai muslimah, kini ketika kebanyakan dari kalian malah mengenakan pakaian yang memamerkan keindahan tubuh kalian, yang bahkan satu kain pun cukup untuk dijadikan pakaian. Apakah ini kesempurnaan akhlak malu muslimah?
Dan lihatlah Ummul Mu’minin, Aisyah binti Abu Bakar. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ayah Aisyah, Abu Bakar, dimakamkan di dalam rumah Aisyah, ia masuk ke dalamnya dengan melepas kain hijabku. Sementara setelah Umar dimakamkan pula di dalam rumahnya, maka Aisyah tidak pernah masuk ke sana kecuali setelah memakai hijab (karena malu kepada Umar)[25]
Berbeda sekali dengan zaman sekarang, ketika sebagian wanita kaum muslimin malah tidak lagi memiliki rasa malu kepada setiap lelaki. Mereka malah sengaja menggoda para lelaki itu agar terus nempel kepada mereka. Na’udzubillah min dzalik.
Petuah dan Kata Mutiara Salaf Tentang Malu
Hasan Al Bashri berkata, “Malu dan murah hati adalah dua simpul kebaikan. Tidaklah keduanya ada pada diri seseorang melainkan Allah akan mengangkatnya dengan keduanya[26]
Fudhail bin Iyadh berkata, “Ada lima tanda kesengsaraan: kerasnya hati, bekunya mata, sedikitnya malu, cinta dunia, dan panjang angan-angan[27]
Al Ashmu’i bertutur bahwa ada seorang arab badui berkata, “Barangsiapa malu menjadi pakaiannya, maka sungguh orang lain tidak akan melihat aibnya[28]
Ibnul Jauzi berkata, “Seorang lelaki adalah seseorang yang apabila di depannya ada barang haram yang disukainya, ia sendirian, dan dia berkesempatan untuk melakukannya, ia sudah sangat ingin melakukannya, lantas ia sadar pandangan Allah padanya, maka dia malu untuk menempatkan hasratnya pada yang tidak disukai-Nya sehingga hilanglah hasrat tersebut
Ibnul Qayyim Al Jauziyah berkata, “Akhlak malu adalah salah satu akhlak yang paling utama, paling tinggi, paling agung, dan paling banyak manfaatnya. Malu adalah karakter khusus manusia. Artinya, siapa yang tak punya malu maka tak tersisa sisi kemanusiaannya selain daging, darah, dan raganya.[29]
Faidah Malu
Sebenarnya banyak sekali faidah dan buah dari rasa malu. Yang kami bawakan ini hanya sebagian kecil dari lautan hikmah rasa malu.
Ibnul Qayyim berkata, “Kalau bukan karena akhlak ini (malu), tidak ada tamu yang dimuliakan, tidak ada janji yang ditepati, tidak ada amanah yang ditunaikan, tidak ada kebutuhan orang lain yang dipenuhi. Juga tidak ada orang yang mencari kebaikan lalu mengedepankannya, tidak ada yang mewaspadai hal buruk lalu menjauhinya, tidak ada yang menutup aurat, tidak ada yang mencegah dari perbuatan nista, tidak mempedulikan hak-hak sesama, tidak ada yang berbakti kepada orang tua.
Sesungguhnya faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan ada dua: agama dan dunia atau moral. Agama yakni harapan untuk menggapai kesudahan yang baik, sedangkan dunia atau moral yakni rasa malu seseorang kepadanya sesamanya. Maka jelas sudah bahwa jika bukan karena rasa malu kepada Al Khaliq atau kepada sesama makhluk, seseorang tidak akan berbuat baik”[30]
Sementara itu, rasa malu sebenarnya melahirkan iffah (kesucian diri). Maka barangsiapa yang memiliki rasa malu, hingga dapat mengendalikan diri dari perbuatan buruk, berarti ia telah menjaga kesucian dirinya. Rasa malu juga membuahkan rasa wafa’ (selalu menepati janji). Ahnaf bin Qais berkata, “Dua hal yang tidak akan berpadu dalam diri seseorang: dusta dan harga diri. Sedangkan harga diri akan melahirkan sifat shidq (berkata benar), wafa’, malu, dan ‘iffah[31]
Jika Malu Dicabut
Jika rasa malu dicabut dari hati manusia, maka sungguh itu adalah kerusakan yang sangat besar. Karena sebenarnya malu adalah sesuatu yang menghidupkan hati dan pangkal dari kebaikan. Jika telah hilang rasa malu di antara kita, maka lihatlah realitasnya. Seseorang itu tidak akan merasakan apa-apa saat orang lain melihat aib dan keburukannya. Bahkan diantara mereka ada yang membanggakan kemaksiatan yang telah mereka perbuat. Orang yang tidak lagi memiliki rasa malu pada hakikatnya adalah orang yang sudah mati di dunia dan celaka di akhirat.
Barangsiapa malu kepada Allah saat bermaksiat, niscaya Allah malu untuk menghukumnya pada hari pertemuan denganNya. Barangsiapa yang tidak malu kepada Allah dengan kemaksiatan yang dilakukannya, niscaya Allah tidak malu menghukumnya.[32]
Malu Untuk Belajar
Sesungguhnya malu adalah akhlak yang indah, tetapi ketika di suatu kondisi tertentu maka malu adalah cela. Contohnya malu untuk belajar. Sebagaimana kisah yang dituturkan Sa’id bin Musayyib yang terdapat dalam Shahih Muslim. Suatu ketika Abu Musa Al Asy’ari pernah berkata kepada Aisyah, “Saya ingin bertanya sesuatu, tapi saya malu (untuk bertanya)”. Maka Aisyah berkata, “bertanyalah dan jangan malu! Hanyasanya aku ini ibumu”. Maka Abu Musa bertanya tentang seorang pria yang meniduri istrinya tapi tidak sampai mengeluarkan mani. Maka Aisyah pun menjawab dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apabila dua khitan bertemu, maka wajib mandi[33]
...Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar” (QS. Al Ahzab: 53)
Wallahu a’lam

Melakukan Bid'ah dengan Dalil Berniat Baik, Bolehkah?

Muqaddimah
Segala puji hanya bagi Allah, kami memujiNya, meminta pertolonganNya, dan memohon ampunanNya, dan kami berlindung atas kejelekan amalan-amalan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak akan disesatkan, dan barangsiapa yang disesatkan olehNya maka tidak ada petunjuk bagi mereka.
Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarganya, para shahabatnya, dan ummatnya yang istiqamah hingga akhir zaman.
Amma ba’d:
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyampaikan agama ini dengan sempurna. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an,
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...
(QS. Al-Maidah: 3)
            Namun rupanya, ada di antara sebagian kaum muslimin yang menambah-nambah ritual-ritual peribadatan dalam agama ini dengan dalil “sesungguhnya setiap amalan tergantung dari niat”. Mereka mengaku berniat baik dengan mengadakan bid’ah-bid’ah tersebut. Dan untuk orang seperti ini, saya katakan “subhanallah! Antum bermaksiat pada Allah dan rasulNya dengan mengatasnamakan sunnah Rasulullah? Sungguh, hal itu adalah suatu kesesatan yang nyata. Anda mengaku beribadah namun hakikatnya antum melakukan bid’ah!”

            Karena itu, penting sekali kita mengkaji ilmu dalam hal ini. Dan ada baiknya kita menyimak risalah yang disampaikan oleh syaikh kami, Ali bin Hasan al-Halabi dalam kitabnya yang berjudul Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh. Semoga dapat mendatangkan manfaat bagi ummat Islam secara keseluruhan.
            Pembahasan Bid’ah Berdalil Niat yang Baik
Ketika  sebagian orang melakukan bid’ah, mereka beralasan bahwa amal mereka dilakukan dengan niat yang baik, tidak bertujuan melawan syari’at, tidak mempunyai pikiran  untuk mengoreksi agama, dan tidak terbersit dalam hati untuk melakukan bid’ah ! Bahkan sebagian mereka berdalil dengan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam .
Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat
(Muttafaq Alaihi)
Untuk membentangkan sejauh mana tingkat kebenaran cara mereka menyimpulkan dalil dan beberapa alasan yang mereka kemukakan tersebut, kami kemukakan bahwa kewajiban seorang muslim yang ingin mengetahui kebenaran yang sampai kepadanya serta hendak mengamalkannya adalah tidak boleh menggunakan sebagian dalil hadits dengan meninggalkan sebagian yang lain. Tetapi yang wajib dia lakukan adalah memperhatiakn semua dalil secara umum hingga hukumnya lebih dekat kepada kebenaran dan jauh dari kesalahan. Demikianlah yang harus dilakukan bila dia termasuk orang yang mempunyai keahlian dalam menyimpulkan dalil.
Tetapi bila dia orang awam atau pandai dalam keilmuan kontemporer yang bukan ilmu-ilmu syari’at, maka dia tidak boleh coba-coba memasuki kepadanya, seperti kata pepatah : “Ini bukan sarangmu maka berjalanlah kamu!”.
Adapun yang benar dalam masalah yang penting ini, bahwa sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam . “Sesunnguhnya segala amal tergantung pada niat” adalah sebagai penjelasan tentang salah satu dari dua pilar dasar setiap amal, yaitu ikhlas dalam beramal dan jujur dalam batinnya sehingga yang selain Allah tidak meretas ke dalamnya.
Adapun pilar kedua adalah, bahwa setiap amal harus sesuai Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , seperti dijelaskan dalam hadits, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada keterangannya dari kami maka dia tertolak”. Dan demikian itulah kebenaran yang dituntut setiap orang untuk merealisasikan dalam setiap pekerjaan dan ucapannya.
Atas dasar ini, maka kedua hadits yang agung tersebut adalah sebagai pedoman agama, baik yang pokok maupun cabang, juga yang lahir dan yang batin. Dimana hadits : “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” sebagai timbangan amal yang batin. Sedangkan hadits “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada keterangannya dari kami maka dia tertolak” sebagai tolak ukur lahiriah setiap amal.
Dengan demikian, maka kedua hadits tersebut memberikan pengertian, bahwa setiap amal yang benar adalah bila dilakukan dengan ikhlas karena Allah dan mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , yang keduanya merupakan syarat setiap ucapan dan amal yang lahir maupun yang batin.
Oleh karena itu, siapa yang ikhlas dalam setiap amalnya karena Allah dan sesuai sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , maka amalnya diterima, dan siapa yang  tidak memenuhi dua hal tersebut atau salah satunya maka amalnya tertolak. (Bahjah Qulub Al-Abrar, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di)
Dan demikian itulah yang dinyatakan oleh Fudhail bin Iyadh ketika menafsirkan firman Allah : “Supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya” (QS. Al-Mulk: 2) Beliau berkata, ‘Maksudnya, dia ikhlas dan benar dalam melakukannya. Sebab amal yang dilakukan  dengan ikhlas tetapi tidak benar maka tidak akan diterima. Dan jika dia benar, tetapi tidak ikhlas maka amalnya juga tidak diterima. Adapun amal yang ikhlas adalah amal yang dilakukan karena Allah, sedang amal yang benar adalah bila dia sesuai dengan Sunnah Rasulullah” (Madarij As-Salikin I/83, Ibnul Qayyim al-Jauziyah)
Ibnul Qayyim berkata, “Sebagian ulama salaf berkata, “Tidaklah suatu pekerjaan meskipun kecil melainkan dibentangkan kepadanya dua catatan. Mengapa dan bagaimana ? Yakni, mengapa kamu melakukan dan bagaimana kamu melakukan ?” (Mawarid Al-Aman Al-Muntaqa min Ighatshah Al-Lahfan: 35)
Pertanyaan pertama tentang alasan dan dorongan melakukan pekerjaan. Apakah karena ada ketertarikan mengenai hal tertentu dan tujuan dari berbagai tujuan dunia seperti ingin dipuji manusia atau takut kecaman mereka, atau ingin mendapatkan sesuatu yang dicintai secara cepat, atau menghindarkan sesuatu yang tidak disukai dengan cepat ? Ataukah yang mendorong melakukan pekerjaan itu karena untuk pengabdian kepada Allah dan mencari kecintaan-Nya serta untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala ?
Artinya,  pertanyaan pertama adalah, apakah kamu mengerjakan amal karena Allah, ataukah karena kepentingan diri sendiri dan hawa nafsu?
Adapun pertanyaan kedua tentang mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam pengabdian itu. Artinya, apakah amal yang dikerjakan sesuai syari’at Allah yang disampaikan Rasul-Nya? Ataukah pekerjaan itu tidak disyari’atkan Allah dan tidak diridhai-Nya?
Pertanyaan pertama berkaitan dengan ikhlas ketika beramal, sedangkan yang kedua tentang mengikuti Sunnah. Sebab Allah tidak akan menerima amal kecuali memenuhi kedua syarat tersebut. Maka agar selamat dari pertanyaan pertama adalah dengan memurnikan keikhlasan. Sedang agar selamat dari pertanyaan kedua adalah dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mengerjakan setiap amal. Jadi amal yang diterima adalah bila hatinya selamat dari keinginan yang bertentangan dengan ikhlas dan juga selamat dari hawa nafsu yang kontradiksi dengan mengikuti Sunnah”.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya (I/231) berkata, “Sesungguhnya amal yang di terima harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allah. Kedua, benar dan sesuai syari’at. Jika dilakukan dengna ikhlas, tetapi tidak benar, maka tidak akan diterima”.
Pernyataan itu dikuatkan dan dijelaskan oleh Ibnu Ajlan, ia berkata, “Amal tidak dikatakan baik kecuali dengan tiga kriteria : takwa kepada Allah, niat baik dan tepat (sesuai sunnah)” (Jami’ Al-Ulum wal Hikam : 10)
Kesimpulannya, bahwa sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” itu maksudnya, bahwa segala amal dapat berhasil tergantung pada niatnya. Ini adalah perintah untuk ikhlas dan mendatangkan niat dalam segala amal yang akan dilakukan oleh seseorang dengan sengaja, itulah yang menjadi sebab adanya amal dan pelaksanaannya. (Fathul bari : I/13 dan Umdah Al-Qari : I/25)
Atas dasar ini, maka seseorang tidak dibenarkan sama sekali menggunakan hadits tersebut sebagai dalil pembenaran amal yang batil dan bid’ah karena  semata-mata niat baik orang yang melakukannya!
Dan penjelasan yang lain adalah, bahwa hadits tersebut sebagai dalil atas kebenaran amal dan keikhlasan ketika melakukannya, yaitu dengan pengertian, “Sesungguhnya segala amal yang shalih adalah dengan niat yang shalih”
Pemahaman seperti ini sepenuhnya tepat dengan kaidah ilmiah dalam hal mengetahui ibadah dan hal-hal yang membatalkannya.
Dan diantara yang menguatkan bahwa diterimanya amal bukan hanya karena niat baik orang yang melakukannya saja, tetapi harus pula sesuai dengan Sunnah  adalah hadits sebagai berikut.
“Bahwa seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Apa yang Allah kehendaki dan apa yang engkau kehendaki”. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Apakah kamu menjadikan aku sebagai tandingan bagi Allah? Tetapi katakanlah : “Apa yang dikehendaki Allah semata” (Hadits Hasan, lihat dalam At-Tasfiyah wa At-Tarbiyyah : 61)
Niat baik dan keikhlasan hati sahabat yang agung ini tidak diragukan. Tetapi ketika ucapan yang keluar darinya bertolak belakang dengan manhaj Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam akidah dan bertutur kata, maka Rasulullah mengingkari seraya mengingatkan kesalahannya dan menjelaskan yang benar tanpa melihat niatnya yang baik.
Wallahu a’lam