
Bila kamu sedang putus cinta (dari sang pacar
tentunya), maka dunia yang tadinya seindah dalam lukisan akan menjadi
abu-abu tak berwarna. Cinta yang sebelumnya sangat diagungkan akan
sekejap mata akan berubah menjadi objek cacian.
Dan bertebaranlah
playboy-playboy cap
kadal yang suka mengatakan cinta kepada wanita. Ia tahu wanita adalah
makhluk yang senang dipuji dan diperhatikan (sepertinya tidak semua,
semoga).
Tidak akan lagi aku mengenal cinta. Tidak akan lagi
aku mau berhubungan dengan pria. Semua pria sama. Sama-sama tidak punya
perasaan, selalu mempermainkan wanita.
Wuihh dahsyat sekali
kata-katanya. Seakan-akan ada wonder woman baru yang bermunculan dan
merasa tidak membutuhkan pria sama sekali. Padahal di lain pihak, masih
banyak wanita yang sedang menanti pangeran impiannya hadir. Padahal
sejatinya wanita membutuhkan tempat bersandar. Ya, sehebat apapun wanita
secara fisik.
Jadi siapa yang patut disalahkan dengan fenomena
seperti itu?
Kemudian menyebarlah kepanjangan dari kata cinta
yaitu cerita indah namun tiada arti. Hmmm, really?
Jika cinta itu
berwujud, ia pasti akan marah besar. Menjadi kambing hitam akan
kebobrokan zaman. Menjadi alasan demi terciptanya musibah besar. Menjadi
pembenaran untuk sebuah kemaksiatan. Saat senang ia diingat dan
diagungkan. Ketika sedih, ia menjadi korban oleh pelaku yang merasa
dianiaya oleh cinta.
Padahal cinta adalah indah, selalu indah.
Cinta itu suci selalu suci dan hanya hadir pada saat yang suci.
Penciptanya saja Maha Indah, Maha Suci. Lalu mengapa kemudian ciptaanNya
menjadi tidak suci dan tidak indah hanya karena perbuatan manusia yang
tidak bertanggung jawab??
Kalau melihat contoh yang “gagal”, bisa
saja mengatakan seperti itu. Bisa saja saya, dia, kalian atau mereka
adalah contoh yang gagal. Gagal yang berarti pernah merasakan cinta yang
salah. Pernah menikmati gula-gula masa pacaran yang sejatinya gula-gula
itu hanya semu. Tapi lebih baik gagal untuk menuju keberhasilan
dibanding gagal dengan terus menerus dan merasa bahwa apa yang dijalani
itu benar (meskipun sebenarnya tidak).
Cukup merasakan setitik
pahitnya empedu dan berganti manisnya madu. Berarti kita memiliki lidah
yang berfungsi secara normal. Namun jika empedu itu tetap terasa nikmat
di lidah meskipun berkali-kali kita meludah namun tetap saja
mengecapnya, Maka siapa yang perlu disalahkan? Apakah sebuah lidah yang
hanya anggota tubuh ataukah kita yang menjadi panglimanya?
Lidah
ibarat sebuah cinta. Maka bukan cinta itu yang salah tapi seseorang
(entah siapa). Yang pasti jika ada cerita Romeo dan Juliet yang kisah
cintanya berakhir tragis atau kisah cinta seorang cerdas yang bernama
Qais kepada Laila hingga ia dijuluki Majnun (tidak waras), bukanlah
cinta yang patut dipersalahkan. Sekali lagi bukan. Dan selamanya bukan.
Jika
menilik keindahan cerita Rasulullah Muhammad dengan ibunda Khadijah,
mungkin bisa kita jadikan tauladan. Cinta yang suci (karena Allah
semata). Bukan cinta berdasarkan harta. Bukan cinta yang menyebabkan
seseorang berubah dari raja menjadi budak. Bukan cinta yang melenakan
hingga melalaikan hati. Cinta yang diawali dengan niat hanya karena
Allah. Dan selanjutnya menjadi ibadah-ibadah yang tiada ternilai oleh
dunia. Meskipun kisahnya terkadang tertutupi oleh kisah cinta imaji
mengenai putri salju, Cinderella dan semacamnya yang sudah bisa
merasakan “cinta” tanpa ada ikatan sebelumnya. Yakinlah itu hanya cerita
fiktif dan kita hidup di dunia nyata.
Dalih cinta yang begitu
beragam. Cerita cinta yang bertebaran. Jika tidak benar-benar menelaah,
maka akan lebih banyak pembenaran pada cinta yang salah.
Oh cinta.
Kau tak berwujud namun kau adalah impian setiap insan. Karena dengan
cinta semua indah (cinta tanpa nafsu). Dengan cinta semua bermakna.
Dunia damai dengan cinta. Cinta mampu mengubah keterpurukan menjadi
timbunan semangat. Cinta mampu membuat kelemahan menjadi kekuatan.
Jangan
melelahkan diri mencari cinta. Dekati saja dulu Sang Pembuat Cinta,
Sang Pemilik Cinta. Biarkan Dia menghadiahkan kita cinta yang indah.
Insya Allah.
Allahua’lam.
–
Tak bosannya membahas
tentang cinta